Thursday, 14 August 2014

Kalbu Mengeras Karena Jauh dari Allah

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Maka celakalah bagi mereka yang keras qalbunya dari berzikir kepada Allah. Mereka berada dalam kesesatan yang nyata.” (az-Zumar: 22)

Tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala memberikan hukuman yang lebih besar kepada seorang hamba selain dari kerasnya kalbu dan jauhnya dari Allah subhanahu wa ta’alaAn-Naar (neraka) diciptakan untuk melunakkan kalbu yang keras. Qalbu yang paling jauh dari Allah subhanahu wa ta’ala adalah kalbu yang keras. Jika kalbu sudah keras, mata pun terasa gersang. Qalbu yang keras ditimbulkan oleh empat hal yang dilakukan melebihi kebutuhan: makan, tidur, bicara, dan pergaulan.

Sebagaimana halnya jasmani jika dalam keadaan sakit tidak akan bermanfaat baginya makanan dan minuman, demikian pula kalbu jika terjangkiti penyakit-penyakit hawa nafsu dan keinginan-keinginan jiwa, maka tidak akan mempan dengan nasihat.
Barang siapa hendak menyucikan kalbunya, ia harus mengutamakan Allah subhanahu wa ta’aladibanding dengan keinginan dan nafsu jiwanya. Sebab, kalbu yang tergantung dengan hawa nafsu akan tertutup dari Allah subhanahu wa ta’ala, sesuai kadar tergantungnya jiwa dengan hawa nafsunya.

Banyak orang menyibukkan kalbu dengan gemerlapnya dunia. Seandainya mereka sibukkan dengan mengingat Allah subhanahu wa ta’ala dan negeri akhirat, tentu kalbunya akan berkelana mengarungi makna-makna Kalamullah dan ayat-ayat-Nya yang tampak ini. Ia pun akan menuai hikmah-hikmah yang langka dan faedah-faedah yang indah.
Jika kalbu disuapi dengan berzikir dan disirami dengan berpikir serta dibersihkan dari kerusakan, ia pasti akan melihat keajaiban dan diilhami hikmah.
Tidak setiap orang yang berhias dengan ilmu dan hikmah serta memeganginya akan masuk dalam golongannya. Kecuali jika mereka menghidupkan kalbu dan mematikan hawa nafsunya.
Adapun mereka yang membunuh kalbunya dengan menghidupkan hawa nafsunya, tidak akan muncul hikmah dari lisannya.

Rapuhnya kalbu adalah karena lalai dan merasa aman. Adapun makmurnya kalbu adalah karena takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan zikir. Maka dari itu, jika sebuah kalbu merasa zuhud dari hidangan-hidangan dunia, dia akan duduk menghadap hidangan-hidangan akhirat. Sebaliknya, jika ia ridha dengan hidangan-hidangan dunia, ia akan terlewatkan dari hidangan akhirat.
Kerinduan bertemu Allah subhanahu wa ta’ala adalah angin semilir yang menerpa kalbu. Membuatnya sejuk dengan menjauhi gemerlapnya dunia. Siapa pun yang menempatkan kalbunya di sisi Rabb-nya, ia akan merasa tenang dan tenteram. Siapa pun yang melepaskan kalbunya di antara manusia, ia akan semakin gundah gulana.

Ingatlah! Kecintaan terhadap Allah  subhanahu wa ta’ala tidaklah akan masuk ke dalam kalbu yang mencintai dunia, melainkan seperti masuknya unta ke lubang jarum (sesuatu yang sangat mustahil).
Jika Allah subhanahu wa ta’ala cinta kepada seorang hamba, Allah subhanahu wa ta’ala akan memilih dia untuk diri-Nya sebagai tempat pemberian nikmat-nikmat-Nya. Allah subhanahu wa ta’alajuga akan memilihnya di antara hamba-hamba-Nya, sehingga hamba itu pun akan menyibukkan harapannya hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Lisannya senantiasa basah dengan berzikir kepada-Nya, anggota badannya selalu dipakai untuk berkhidmat kepada-Nya.
Kalbu bisa sakit sebagaimana sakitnya jasmani dan kesembuhannya adalah dengan bertaubat.
Kalbu pun bisa berkarat sebagaimana cermin, dan cemerlangnya adalah dengan berzikir.
Kalbu bisa pula telanjang sebagaimana badan, dan pakaian keindahannya adalah takwa.
Kalbu pun bisa lapar dan dahaga sebagaimana badan, maka makanan dan minumannya adalah mengenal Allah subhanahu wa ta’ala, cinta, tawakal, bertaubat, dan berkhidmat untuk-Nya.
(diterjemahkan dan diringkas dari kitab al-Fawa’id karya Ibnul Qayyim t hlm. 111—112)

(ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)

Berpakaian Tipis di Hadapan Suami

Apa hukum wanita yang mengenakan pakaian tipis, ketat, sehingga menampakkan kedua betis di hadapan suaminya? Apakah ini termasuk di dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang?

(nhi…@yahoo.com)

Jawab:
Dibolehkan bagi wanita untuk mengenakan pakaian yang tipis, ketat, dan pendek di hadapan suaminya, karena tidak ada batasan aurat antara suami-istri, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka. Kecuali di hadapan istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka mereka dalam hal ini tidaklah tercela (bila menampakkannya).” (al-Mukminun: 5—6)
Aisyah x mengabarkan,
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ shallallahu alaihi wa sallam مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَنَحْنُ جُنُبَانِ
“Aku pernah mandi bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dari satu bejana dan kami berdua dalam keadaan junub.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 250 dan Muslim no. 321)
Al-Hafizh lbnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Ad-Dawudi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya. Pendapat ini dikuatkan dengan kabar yang diriwayatkan lbnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwasanya ia ditanya tentang hukum seorang suami melihat aurat istrinya. Sulaiman pun berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada ‘Atha tentang hal ini, ia menjawab, ‘Aku pernah menanyakan permasalahan ini kepada ‘Aisyah maka ‘Aisyah membawakan hadits ini dengan maknanya’.” (Fathul Bari, 1/455)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hal ini, maka beliau menjawab, “Tidak ada aurat antara suami dengan istrinya.”
Sebelumnya, beliau membawakan dalil sebagaimana yang kami nukilkan dalam jawaban kami di atas. (Lihat Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, 1/417—418)
Karena suami dan istri dibolehkan untuk saling melihat aurat masing-masing, maka istri yang mengenakan pakaian tipis, ketat, dan pendek di hadapan suaminya tidaklah termasuk dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam“Dua golongan dari penduduk an-naar (neraka) yang aku belum pernah melihat mereka sebelumnya.”
Kemudian beliau menyebutkan golongan yang pertama, setelahnya beliau lanjutkan dengan golongan kedua, yaitu, “Para wanita yang berpakaian tapi hakikatnya mereka telanjang….” (Sahih, HR. Muslimno. 2128)
Wallahu ta‘ala a‘lam.

Pakaian Wanita dalam Shalat

Pakaian wanita saat mengerjakan shalat memiliki aturan tersendiri. Setiap wanita hendaknya memerhatikan pakaiannya ketika shalat, tidak boleh seenaknya, meski shalatnya dilakukan sendirian.

cadar
Di masa jahiliah, kata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, wanita biasa thawaf di Ka’bah dalam keadaan tanpa busana. Yang tertutupi hanyalah bagian kemaluannya. Mereka thawaf seraya bersyair,

Pada hari ini tampak tubuhku sebagiannya ataupun seluruhnya
Maka apa yang tampak darinya tidaklah daku halalkan

Maka turunlah ayat,
“Wahai anak Adam, kenakanlah zinah (hiasan/pakaian)1 kalian setiap kali menuju masjid.” (al-A’raf: 31) [Sahih, HR. Muslim no. 3028]
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Dahulu orang-orang jahiliah thawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang. Mereka melemparkan pakaian mereka dan membiarkannya tergeletak di atas tanah terinjak-injak oleh kaki orang-orang yang lalu lalang. Mereka tidak lagi mengambil pakaian tersebut selamanya, hingga usang dan rusak. Demikian kebiasaan jahiliah ini berlangsung hingga kedatangan Islam dan Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan mereka untuk menutup aurat sebagaimana firman-Nya,
“Wahai anak Adam, kenakanlah hiasan kalian setiap kali shalat di masjid.” (al-A’raf: 31)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ عُرْياَنٌ
“Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Ka’bah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1622 dan Muslimno. 1347) [Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, 18/162—163]
Hadits di atas selain disebutkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah pada nomor di atas, padaKitab al-Haj, Bab “Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Baitullah dan tidak boleh orang musyrik melaksanakan haji”, disinggung pula oleh beliau dalam Kitab ash-Shalah, bab “Wajibnya shalat dengan mengenakan pakaian.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dalam syarahnya (penjelasan) terhadap hadits di atas dalam Kitab ash-Shalah berkata, “Sisi pendalilan hadits ini terhadap judul bab yang diberikan al-Imam al-Bukhari rahimahullah adalah apabila dalam thawaf dilarang telanjang, pelarangan hal ini di dalam shalat lebih utama lagi. Sebab, apa yang disyaratkan di dalam shalat sama dengan apa yang disyaratkan di dalam thawaf, bahkan dalam shalat ada tambahan. Jumhur berpendapat menutup aurat termasuk syarat shalat.” (Fathul Bari, 1/582)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam Tafsir-nya, “Mereka diperintah untuk mengenakan zinah (hiasan) ketika datang ke masjid untuk melaksanakan shalat atau thawaf di Baitullah. Ayat ini dijadikan dalil untuk menunjukkan wajibnya menutup aurat di dalam shalat. Demikian pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama. Bahkan, menutup aurat hukumnya wajib dalam segala keadaan, sekalipun seseorang shalat sendirian, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang sahih.” (Fathul Qadir, 2/200)
Ada perbedaan antara batasan aurat yang harus ditutup di dalam shalat dan aurat yang harus ditutup di hadapan seseorang yang tidak halal untuk melihatnya, sebagaimana ada perbedaan yang jelas antara aurat laki-laki di dalam shalat dan aurat wanita.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mengenakan pakaian di dalam shalat adalah dalam rangka menunaikan hak Allah subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu, seseorang tidak boleh shalat ataupun thawaf dalam keadaan telanjang, walaupun sendirian di malam hari. Dengan demikian, diketahuilah bahwa mengenakan pakaian di dalam shalat bukanlah karena ingin menutup tubuh (berhijab) dari pandangan manusia. Sebab, ada perbedaan antara pakaian yang dikenakan untuk berhijab dari pandangan manusia dan pakaian yang dikenakan ketika shalat.” (Majmu’ Fatawa, 22/113—114)
Perlu diperhatikan di sini, menutup aurat di dalam shalat tidaklah cukup dengan berpakaian ala kadarnya, yang penting menutup aurat, tidak peduli pakaian itu terkena najis, bau, dan kotor misalnya. Namun, perlu diperhatikan pula sisi keindahan dan kebersihan. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya memerintahkan untuk mengenakan zinah (pakaian sebagai perhiasan) ketika shalat, sebagaimana ayat di atas. Jadi, seorang hamba sepantasnya shalat mengenakan pakaiannya yang paling bagus dan paling indah, karena dia akan bermunajat dengan Rabb semesta alam dan berdiri di hadapan-Nya.
Demikian secara makna dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam al-Ikhtiyarat (hlm. 43), sebagaimana dinukil dalam asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ (2/145).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah membawakan beberapa syarat pakaian yang dikenakan dalam shalat. Ringkasnya adalah sebagai berikut.
1.    Tidak menampakkan kulit tubuh yang ada di balik pakaian
2.    Bersih dari najis
3.    Bukan pakaian yang haram untuk dikenakan seperti sutera bagi laki-laki, atau pakaian yang melampaui/melebihi mata kaki bagi laki-laki (isbal)
4.    Pakaian tersebut tidak menimbulkan mudarat/bahaya bagi pemakainya. (Lihat pembahasan dan dalil-dalil masalah ini dalam asy-Syarhul Mumti’, 2/148—151)

Bagian Tubuh yang Harus Ditutup

Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang bagian tubuh yang harus ditutup oleh wanita merdeka (bukan budak) dalam shalatnya.
Al-Imam asy-Syafi’i dan al-Auza’i rahimahumallah berkata, ‘Wanita menutupi seluruh badannya ketika shalat kecuali wajah dan dua telapak tangannya.’ Diriwayatkan hal ini dari Ibnu Abbasradhiyallahu ‘anhuma dan ‘Atha rahimahullah.
Lain lagi yang dikatakan oleh Abu Bakr bin Abdirrahman bin al-Harits bin Hisyam radhiyallahu ‘anhu, ‘Semua anggota tubuh wanita merupakan aurat, sampaipun kukunya.’
Al-Imam Ahmad rahimahullah sejalan dengan pendapat ini, beliau berkata, ‘Dituntunkan bagi wanita untuk melaksanakan shalat dalam keadaan tidak terlihat sesuatu pun dari anggota tubuhnya, tidak terkecuali kukunya’.” (Ma’alimus Sunan, 2/343)2
Sebenarnya dalam permasalahan ini tidak ada dalil yang jelas yang bisa menjadi pegangan, kata asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. (asy-Syarhul Mumti’, 2/156)
Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat seluruh tubuh wanita merdeka itu aurat (di dalam shalatnya) kecuali bagian tubuh yang biasa tampak darinya ketika di dalam rumahnya, yaitu wajah, dua telapak tangan, dan telapak kaki. (Majmu’ Fatawa, 22/109—120)
Dengan demikian, ketika seorang wanita shalat sendirian atau di hadapan sesama wanita atau di hadapan mahramnya dibolehkan baginya untuk membuka wajah, dua telapak tangan, dan dua telapak kakinya. (Jami’ Ahkamin Nisa’, 1/333—334)
Walaupun yang lebih utama ialah ia menutup dua telapak kakinya. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)
Apabila ada laki-laki yang bukan mahramnya, ia menutup seluruh tubuhnya termasuk wajah3. (asy-Syarhul Mumti’, 2/157)

Pakaian Wanita di dalam Shalat

Di sekitar kita banyak dijumpai wanita shalat mengenakan mukena/rukuh yang tipis transparan, sehingga terlihat rambut panjangnya tergerai di balik mukena. Belum lagi pakaian yang dikenakan di balik mukena. Terlihat tipis, tanpa lengan, pendek dan ketat, menggambarkan lekuk-lekuk tubuhnya. Pakaian seperti ini jelas tidak bisa dikatakan menutup aurat.
Jika ada yang berdalih, “Saya mengenakan pakaian shalat yang seperti itu hanya di dalam rumah, sendirian di dalam kamar dan lampu saya padamkan!”, kita katakan bahwa pakaian shalat seperti itu (mukena ditambah pakaian minim di baliknya) tidak boleh dikenakan walaupun ketika shalat sendirian, tanpa ada seorang pun yang melihat. Sebab, pakaian itu tidak cukup untuk menutup aurat, padahal ketika shalat wanita tidak boleh terlihat bagian tubuhnya kecuali wajah, telapak tangan, dan telapak kaki. (Lihat ucapan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa sebagaimana dinukilkan di atas)
Terlebih lagi pelarangan—bahkan pengharamannya—ketika pakaian seperti ini dipakai keluar rumah untuk shalat di masjid atau di hadapan laki-laki yang bukan mahram.
Jika demikian, bagaimana sebenarnya pakaian yang boleh dikenakan oleh wanita di dalam shalatnya?
Masalah pakaian wanita di dalam shalat ini disebutkan dalam beberapa hadits yang marfu’. Namun, kedudukan hadits-hadits tersebut diperbincangkan oleh ulama.
Di antaranya, hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haid (baligh) kecuali apabila ia mengenakan kerudung (dalam shalatnya).” (HR. Abu Dawud no. 641 dan selainnya)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam at-Talkhisul Habir (2/460), hadits ini dianggap cacat oleh ad-Daraquthni karena mauquf-nya (hadits yang berhenti hanya sampai sahabat).
Adapun al-Hakim menganggapnya mursal (hadits yang terputus antara tabi’in dan Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam).
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Apakah wanita boleh shalat dengan mengenakan dira’4 dan kerudung tanpa izar5?”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,
إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ
“(Boleh), apabila dira’nya itu luas/lapang hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya.” (HR. Abu Dawud no. 640)
Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha ini tidak sahih sanadnya, baik secara marfu’ maupunmauquf, karena hadits ini berporos pada Ummu Muhammad bin Zaid, padahal dia adalah rawi yangmajhul (tidak dikenal). Demikian diterangkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah (hlm. 161).
Meski demikian, ada riwayat-riwayat yang sahih dari para sahabat dalam pemasalahan ini sebagaimana akan kita baca berikut ini.
Abdur Razzaq ash-Shan‘ani rahimahullah meriwayatkan dari jalan Ummul Hasan, ia berkata, “Aku melihat Ummu Salamah istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam, shalat dengan mengenakan dira’ dan kerudung.” (al-Mushannaf, 3/128)6
Ubaidullah al-Khaulani, anak asuh Maimunah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Maimunah shalat dengan memakai dira’ dan kerudung tanpa izar. (Diriwayatkan oleh al-Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf)7
Masih ada atsar lain dalam masalah ini, yang semuanya menunjukkan bahwa shalat wanita dengan mengenakan dira’ dan kerudung adalah perkara yang biasa serta dikenal di kalangan para sahabat, dan ini merupakan pakaian yang mencukupi bagi wanita untuk menutupi auratnya di dalam shalat.
Apabila wanita itu ingin lebih sempurna dalam berpakaian ketika shalat, ia bisa menambahkan izaratau jilbab pada dira’ dan kerudungnya. Ini yang lebih sempurna dan lebih utama, kata asy-Syaikh al-Albani rahimahullah. Dalilnya ialah riwayat dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Wanita shalat dengan mengenakan tiga pakaian yaitu dira‘, kerudung, dan izar.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dengan isnad yang sahih, lihat Tamamul Minnah, hlm. 162)
Jumhur ulama sepakat, pakaian yang mencukupi bagi wanita dalam shalatnya adalah dira’ dan kerudung. (Bidayatul Mujtahid, hlm. 100)
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Disenangi bagi wanita untuk shalat mengenakan dira’—pakaian yang sama dengan gamis, namun lebar dan panjang sampai menutupi kedua telapak kaki—kemudian mengenakan kerudung yang menutupi kepala dan lehernya, dilengkapi dengan jilbab yang diselimutkan ke tubuhnya di atas dira’. Demikian yang diriwayatkan dari ‘Umar, putra beliau (Ibnu ‘Umar), ‘Aisyah, Abidah as-Salmani, dan ‘Atha. Ini juga merupakan pendapat al-Imam asy-Syafi’irahimahullah. Beliau berkata, ‘Kebanyakan ulama bersepakat untuk pemakaian dira’ dan kerudung, apabila ditambahkan pakaian lain, itu lebih baik dan lebih menutup’.” (al-Mughni, 1/351)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Disenangi bagi wanita untuk shalat dengan mengenakan tiga pakaian: dira’, kerudung, dan jilbab yang digunakan untuk menyelubungi tubuhnya, kain sarung di bawah dira’, atau sirwal (celana panjang yang lapang dan lebar) karena lebih utama daripada sarung.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ‘Wanita shalat dengan mengenakan dira’, kerudung, dan milhafah.’
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah shalat dengan mengenakan kerudung, izar, dan dira’. Ia memanjangkan izar-nya untuk berselubung dengannya. Ia pernah berkata, ‘Wanita yang shalat harus mengenakan tiga pakaian apabila ia mendapatkannya, yaitu kerudung, izar, dan dira’.’ (Syarhul ‘Umdah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 4/322)

Bolehkah Shalat dengan Satu Pakaian?

Di dalam shalat, wanita dituntunkan untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali bagian yang boleh terlihat, walaupun ia hanya mengenakan satu pakaian yang menutupi kepala, dua telapak tangan, dua telapak kaki, dan seluruh tubuhnya kecuali wajah.
Seandainya ia berselimut dengan satu kain sehingga seluruh tubuhnya tertutupi kecuali muka, dua telapak tangan dan telapak kakinya maka ini mencukupi baginya, menurut pendapat yang mengatakan dua telapak tangan dan telapak kaki tidak termasuk bagian tubuh yang wajib ditutup. (asy-Syarhul Mumti’, 2/165)
Ikrimah rahimahullah berkata, “Seandainya seorang wanita shalat dengan menutupi tubuhnya dengan satu pakaian/kain maka hal itu dibolehkan.” (Shahih al-Bukhari, “Kitab ash-Shalah bab Berapa Pakaian yang Boleh Dikenakan Wanita Ketika Shalat”)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyatakan, “Setelah menghikayatkan pendapat jumhur bahwa wajib bagi wanita untuk shalat memakai dira’ dan kerudung, Ibnul Mundzirrahimahullah berkata, ‘Yang diinginkan dengan pendapat tersebut adalah ketika shalat seorang wanita harus menutupi tubuh dan kepalanya. Seandainya pakaian yang dikenakan itu lapang/lebar lalu ia menutupi kepalanya dengan sisa/kelebihan pakaiannya maka hal itu dibolehkan.’
Ibnul Mundzir juga berkata, ‘Apa yang kami riwayatkan dari Atha’ rahimahullah bahwasanya ia berkata, [Wanita shalat dengan mengenakan dira’, kerudung, dan izar], demikian pula riwayat yang semisalnya dari Ibnu Sirin rahimahullah dengan tambahan milhafah, maka aku menyangka hal ini dibawa pemahamannya kepada istihbab8.” (Fathul Bari, 1/602—603)
Mujahid dan ‘Atha rahimahumallah pernah ditanya tentang wanita yang memasuki waktu shalat sementara ia tidak memiliki kecuali satu baju, apa yang harus dilakukannya?
Mereka menjawab, “Ia berselimut dengannya.”
Demikian pula yang dikatakan Muhammad bin Sirin rahimahullah. (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/226)
Demikian apa yang dapat kami nukilkan dalam permasalahan ini untuk pembaca. Semoga memberi manfaat!
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Zinah (hiasan) adalah sesuatu yang dikenakan untuk berhias/memperindah diri (Mukhtarush Shihah, hlm. 139), seperti pakaian.
2 Sebagaimana dinukil dalam Jami’ Ahkamin Nisa’ (1/321).
3 Bagi yang berpendapat wajibnya menutup wajah. (-red.)
Dira’’ adalah pakaian lebar/lapang yang menutupi sampai kedua telapak kaki, kata asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah. (asy-Syarhul Mumti’, 2/164)
Izar adalah milhafah (al-Qamushul Muhith, hlm. 309). Makna milhafah sendiri diterangkan dalamal-Qamush (hlm. 767) adalah pakaian yang dikenakan di atas seluruh pakaian (sehingga menutup/menyelubungi seluruh tubuh seperti abaya dan jilbab. (Lihat asy-Syarhul Mumti’, 2/164—165)
6 Isnadnya sahih, kata asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah (hlm. 162).
7 Isnadnya sahih, kata asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah (hlm. 162).
8  Yakni satu pakaian yang menutupi seluruh tubuh sebenarnya sudah mencukupi, namun disenangi apabila ditambah dengan pakaian-pakaian yang disebutkan.

(ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)

Hari Ketujuh Detak Kehidupanmu

Memasuki umur tujuh hari, orang tua dituntunkan melakukan aqiqah bagi anaknya yang baru lahir. Bersamaan dengan itu, dicukurlah rambut si kecil dan diberi nama.

bumi n tanaman
Si kecil menikmati buaian bersama guliran waktu. Sosoknya masih begitu mungil tak berdaya, begitu mengharap segala kebaikan dan uluran tangan ayah dan ibunya. Kini, usianya telah mencapai hitungan tujuh hari.
Banyak yang ingin dilakukan oleh orang tua untuk memperingati usia ketujuh buah hatinya. Bubur “dwi warna” pun diolah dan dibagi-bagikan ke tetangga kiri-kanan, atau membuat tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya untuk disajikan kepada para tamu undangan, ataupun berbagai acara lainnya yang tabu bila tak diselenggarakan.
Namun, tak boleh dilupa, itu semua bukanlah ajaran Islam. Syariat telah menentukan apa yang mestinya dilakukan oleh orang tua pada hari ketujuh kelahiran permata hatinya. Walaupun begitu, kadang justru tak terpikirkan untuk melaksanakannya. Andai ayah dan bunda mau menelaah kembali, apa yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat bayi memasuki hari ketujuh kelahirannya.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pada hari itu dilaksanakan aqiqah. Aqiqah adalah nama sembelihan untuk seorang anak yang baru lahir. (Fathul Bari, 9/500)
Mengenai hal ini, seorang sahabat yang mulia, Sulaiman bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيْقَتُهُ فَأَهْرِيْقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيْطُوا عَنْهُ الْأَذَى
“Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Setiap anak bersama aqiqahnya, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah gangguan darinya’.” (Sahih, HR. al-Bukharino. 5472)
Demikian pula, Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
”Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka pada hari ketujuh disembelih hewan, dicukur habis1 rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud no. 2838. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam al-Jami’ush Shahih [4/233], “Ini hadits sahih.”)
Barangkali akan timbul tanda tanya, apa maksud perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambahwa setiap anak tergadai dengan aqiqahnya?
Para ulama berselisih tentang makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Namun, pendapat yang paling baik datang dari al-Imam Ahmad rahimahullah. Beliau menjelaskan bahwa ini berkenaan dengan syafaat. Apabila seorang anak meninggal semasa kanak-kanak dalam keadaan belum diaqiqahi, maka dia tidak dapat memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya. (‘Aunul Ma’bud, 8/27)
Dalam ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pun didapati dalil bahwa waktu pelaksanaan aqiqah itu pada hari ketujuh kelahiran seorang anak, dan tidak disyariatkan pelaksanaan aqiqah sebelum ataupun setelah hari ketujuh ini. (‘Aunul Ma’bud, 8/28)
Dalam Nailul Authar (5/224) disebutkan bahwa aqiqah ini merupakan perkara yang sunnah. Demikian yang dipegangi oleh sekelompok besar para ulama. Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Barang siapa yang lahir anaknya dan ingin menyembelih untuk kelahiran anaknya, hendaknya dia laksanakan, dua ekor kambing yang setara untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan.” (HR. Abu Dawud no. 2842, disahihkan dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2467)
Pada hadits ini juga didapati penjelasan bahwa pada pelaksanaan aqiqah disembelih dua ekor kambing untuk seorang anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Begitu pula yang disampaikan kepada para sahabat oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada mereka,
عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
 “Disembelih dua ekor kambing yang setara bagi seorang anak laki-laki dan seekor kambing untuk seorang anak perempuan.” (HR. at-Tirmidzi no. 1433, disahihkan dalam al-Irwa’ul Ghalil no. 1166)
Pernah pula seorang shahabiyah, Ummu Kurz radhiyallahu ‘anha, mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ لاَ يَضُرُّكُمْ أَذُكْرَانًا كُنَّ أَوْ إِنَََاثًا
“Disembelih dua ekor kambing bagi seorang anak laki-laki dan seekor kambing untuk seorang anak perempuan, tidak mengapa kambing jantan ataupun kambing betina.” (HR. Abu Dawud no. 4835, disahihkan dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2460, dan al-Hakim, 4/237, disahihkan oleh al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah dalam at-Talkhish)
Maksud dua kambing yang sama (شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ) pernah dijelaskan oleh Zaid bin Aslam, yaitu dua kambing yang serupa (مُتَشَابِهَتَانِ) yang disembelih bersamaan, tidak ditunda penyembelihan salah satu dari keduanya.
Adapun al-Imam Ahmad rahimahullah menerangkan bahwa maknanya dua kambing yang hampir sama (مُتَقَارِبَتَانِ).
Al-Imam al-Khaththabi rahimahullah menjelaskan, yaitu setara umurnya.
Dalam hadits-hadits di atas didapati pula dalil yang dipegangi oleh sekelompok besar ulama tentang perbedaan banyaknya kambing yang disembelih dalam aqiqah ini bagi anak laki-laki dan anak perempuan. (Fathul Bari, 9/506)
Setelah penyembelihan dilaksanakan, disenangi untuk mengolah daging aqiqah itu terlebih dahulu sebelum diberikan. Sebab, orang-orang miskin dan para tetangga yang menerimanya tidak perlu repot lagi memasaknya. Hal ini akan menambah kebaikan serta rasa syukur terhadap nikmat tersebut. Para tetangga, anak-anak, serta orang-orang miskin dapat menikmati hidangan itu dengan gembira, karena orang yang menerima daging yang sudah dimasak, siap dimakan dan lezat rasanya, tentu merasa lebih gembira dibandingkan pemberian daging mentah yang masih butuh tenaga untuk mengolahnya. (Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud hlm. 75—76)
Selain penyembelihan hewan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pada hari itu dicukur pula rambut bayi. Ini bisa disimak dari ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka pada hari ketujuh disembelih hewan, dicukur habis rambutnya, dan diberikan nama.” (HR. Abu Dawud no. 2838. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullahmenyatakan sahih dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Juga dalam riwayat Sulaiman bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu,
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيْقَتُهُ فَأَهْرِيْقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيْطُوا عَنْهُ الْأَذَى
“Setiap anak bersama aqiqahnya, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah gangguan darinya.”(Sahih, HR. al-Bukhari no. 5472)
Menghilangkan gangguan (إِمَاطَةُ الْأَذَى) yang ada dalam hadits ini mencakup mencukur rambut ataupun menghilangkan segala gangguan yang ada. (Fathul Bari 9/507)
Akan tetapi, perlu diperhatikan, rambut bayi harus dicukur habis pada keseluruhan bagian kepala. Tidak boleh hanya mencukur habis pada sebagian kepala saja dan membiarkan bagian yang lainnya, yang diistilahkan dengan qaza’.
Berkenaan dengan larangan ini ‘Abdullah ibnu ‘Umar c mengatakan,
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنِ الْقَزَعِ
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari qaza’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5920 dan Muslim no. 2120)
‘Ubaidullah bin Hafsh, salah seorang rawi hadits ini, menerangkan lebih lanjut tentang pengertianqaza’, rambut bayi dicukur lalu disisakan bagian ubun-ubun dan kedua samping kepala.

Qaza’
 ada beberapa bentuk. Ada yang dicukur beberapa tempat saja; ada yang dicukur rambut bagian tengahnya dan disisakan bagian sampingnya sebagaimana yang dilakukan oleh para tokoh Nasrani; ada yang dicukur rambut bagian sampingnya dan disisakan bagian tengahnya seperti orang-orang gembel dan orang rendahan; dan ada pula yang dicukur rambut bagian depannya dan disisakan bagian belakang kepala. Ini semua termasuk bentuk qaza’. (Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud, hlm. 100)
Selain hal-hal di atas, perlu diketahui bahwa tidak disyariatkan mengusapkan darah sembelihan pada kepala bayi setelah rambutnya dicukur. Ini adalah perbuatan jahiliah yang telah dihapus setelah turunnya syariat Islam, seperti yang dikisahkan oleh Buraidah radhiyallahu ‘anhu,
كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللهُ بِالْإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلَطِّخُهُ بِزَعْفَرَانَ
“Dahulu ketika kami masih dalam masa jahiliah, apabila lahir anak salah seorang di antara kami, maka dia menyembelih kambing dan mengoleskan darahnya ke kepala bayi itu. Maka ketika Allah datangkan Islam, kami menyembelih kambing, mencukur rambut bayi, dan mengolesi kepalanya dengan za’faran (jenis minyak wangi).” (HR. Abu Dawud no. 2843. Asy-Syaikh al-Albanirahimahullah berkata dalam Shahih Sunan Abu Dawud bahwa hadits ini hasan sahih)
Ini juga menunjukkan disenanginya mengoleskan za’faran atau jenis wewangian yang lain pada kepala bayi setelah dicukur. (‘Aunul Ma’bud, 8/33)
Yang juga tak lepas dari pelaksanaan aqiqah ini adalah pemberian nama. Ini dapat dilihat dalam hadits Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu yang telah lalu. Demikianlah, seseorang yang hendak mengaqiqahi anaknya, hendaknya menangguhkan penamaannya hingga hari ketujuh. Apabila tidak hendak diaqiqahi, dia bisa menamai anaknya pada hari kelahirannya. (Fathul Bari, 9/500)
Inilah rangkaian yang mestinya diselenggarakan pada hari ketujuh kelahiran si buah hati. Tentu tak ada pilihan lain bagi ayah dan bunda kecuali memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya dengan mempersembahkan seluruh perikehidupan di atas jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Yaitu digundul dengan menggunakan alat cukur. Lihat asy-Syarhul Mumti’ (7/540—541).

(ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu ‘Imran)

Ummu Salamah

Kecantikan dan kemuliaan berpadu dalam dirinya. Cinta, kesetiaan, dan ketaatannya pada pendamping hidupnya membawanya untuk memperoleh sebentuk doa. Doa yang berbuah keindahan hidup tiada tara, bersisian dengan hamba Rabb-nya yang paling mulia.

dua-bunga
Hindun bintu Abi Umayyah bin al-Mughirah bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah al-Qurasyiyyah al-Makhzumiyah radhiyallahu ‘anha. Dia lebih dikenal dengan kunyahnya, Ummu Salamah.
Dia seorang istri yang penuh cinta bagi suaminya, Abu Salamah ‘Abdullah bin ‘Abdil Asad bin Hilal bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Ka’b al-Makhzumi radhiyallahu ‘anhu. Dalam beratnya cobaan dan gangguan, mereka meninggalkan negeri Makkah menuju Habasyah untuk berhijrah, membawa keimanan. Di negeri inilah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha melahirkan anak-anaknya, Salamah, ‘Umar, Durrah, dan Zainab.
Tatkala terdengar kabar tentang Islamnya penduduk Makkah, mereka pun kembali bersama kaum muslimin yang lain. Namun, ternyata semua itu berita hampa semata, hingga mereka pun harus beranjak hijrah untuk kedua kalinya menuju Madinah. Di sanalah mereka membangun hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selang beberapa lama di Madinah, seruan perang Badr bergema. Abu Salamah radhiyallahu ‘anhumasuk dalam barisan para sahabat yang terjun dalam kancah pertempuran. Begitu pula ketika perang Uhud berkobar, Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu ada di sana, hingga mendapatkan luka-luka.
Tak lama Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berdampingan dengan kekasihnya, karena Abu Salamah harus kembali ke hadapan Rabb-nya akibat luka-luka yang dideritanya. Ummu Salamah melepas kepergian Abu Salamah pada bulan Jumadits Tsaniyah tahun keempat Hijriyah dengan pilu.
Dia mengatakan, “Siapakah yang lebih baik bagiku daripada Abu Salamah?”
Berulang kali dia berucap demikian. Hingga akhirnya diucapkannya doa yang pernah diajarkan oleh kekasihnya, Abu Salamah, jauh hari sebelum Abu Salamah tiada.
Kala itu, Ummu Salamah berkata kepada suaminya, “Aku telah mendengar bahwa seorang wanita yang suaminya tiada dan suaminya itu termasuk ahli surga, kemudian dia tidak menikah lagi sepeninggalnya, Allah subhanahu wa ta’ala mengumpulkan mereka berdua di surga. Mari kita saling berjanji agar engkau tidak menikah lagi sepeninggalku dan aku tidak akan menikah lagi sepeninggalmu.”
Mendengar perkataan istrinya, Abu Salamah mengatakan, “Apakah engkau mau taat kepadaku?”
Kata Ummu Salamah, “Ya.”
Abu Salamah berkata lagi, “Kalau aku kelak tiada, menikahlah! Ya Allah, berikan pada Ummu Salamah sepeninggalku nanti seseorang yang lebih baik dariku, yang tak akan membuatnya berduka, dan tak akan menyakitinya.”
Waktu terus berjalan. Ummu Salamah pun telah melalui masa ‘iddahnya sepeninggal Abu Salamah.
Datang seorang yang paling mulia setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu untuk meminang Ummu Salamah. Namun, Ummu Salamah menolaknya.
Setelah itu, datang pula ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, menawarkan pinangan ke hadapan Ummu Salamah. Kembali Ummu Salamah menyatakan penolakannya.
Ternyata Allah subhanahu wa ta’ala hendak menganugerahkan sesuatu yang lebih besar daripada itu semua. Datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, membuka pintu baginya untuk memasuki rumah tangga nubuwwah.
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menjawab tawaran itu, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang sudah cukup berumur dan memiliki anak-anak yatim, lagi pula aku wanita yang sangat pencemburu.”
Dari balik tabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi, “Adapun masalah umur, sesungguhnya aku lebih tua darimu. Adapun anak-anak, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mencukupinya. Sedangkan kecemburuanmu, maka aku akan berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar Allah subhanahu wa ta’ala menghilangkannya.”
Tak ada lagi yang memberatkan langkah Ummu Salamah untuk menyambut uluran tangan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Bulan Syawwal tahun keempat setelah hijrah adalah saat-saat yang indah bagi Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, mengawali hidupnya di samping seorang yang paling mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berita tentang kecantikan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha sempat meletupkan kecemburuan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ketika itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sangat bersedih. Dia menahan diri sampai memiliki kesempatan melihat Ummu Salamah.
Tatkala datang kesempatan itu, ‘Aisyah melihat kecantikan Ummu Salamah berkali lipat daripada gambaran yang sampai padanya. Dia beritahukan hal itu kepada Hafshah radhiyallahu ‘anha.
Hafshah pun menjawab, “Tidak, demi Allah. Itu tidak lain hanya karena kecemburuanmu saja. Dia tidaklah seperti yang kaukatakan, namun dia memang cantik.”
‘Aisyah pun mengisahkan, “Setelah itu, aku sempat melihatnya lagi dan dia memang seperti yang dikatakan oleh Hafshah.”
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha memulai rangkaian kehidupannya di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak rentetan peristiwa dilaluinya bersama beliau. Satu dialaminya dalam Perjanjian Hudaibiyah.
Kala itu, pada bulan Dzulqa’dah tahun keenam setelah hijrah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersama 1.400 orang muslimin ingin menunaikan ‘umrah di Makkah sembari melihat kembali tanah air mereka yang sekian lama ditinggalkan.
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha turut menyertai perjalanan beliau ini. Namun, setiba beliau dan para sahabat di Dzul Hulaifah untuk berihram dan memberi tanda hewan sembelihan, kaum musyrikin Quraisy menghalangi kaum muslimin. Dari peristiwa ini tercetuslah perjanjian Hudaibiyah.
Perjanjian itu di antaranya berisi larangan bagi kaum muslimin memasuki Makkah hingga tahun depan. Betapa kecewanya para sahabat saat itu, karena mereka urung memasuki Makkah.
Usai menyelesaikan penulisan perjanjian itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan kepada para sahabat, “Bangkitlah, sembelihlah hewan kalian, kemudian bercukurlah!”
Namun, tak satu pun dari mereka yang bangkit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi perintahnya hingga ketiga kalinya, namun tetap tak ada satu pun yang beranjak.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dan menceritakan apa yang terjadi. Ummu Salamah pun memberikan gagasan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ingin agar mereka melakukannya? Bangkitlah, jangan berbicara kepada siapa pun hingga engkau menyembelih hewan dan memanggil seseorang untuk mencukur rambutmu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, kemudian segera melaksanakan usulan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Seketika itu juga, para sahabat yang melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih hewannya dan menyuruh seseorang untuk mencukur rambutnya serta-merta bangkit untuk memotong hewan sembelihan mereka dan saling mencukur rambut, hingga seakan-akan mereka akan saling membunuh karena riuhnya.
Semenjak bersama Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha meraup banyak ilmu. Terlebih lagi setelah berada dalam naungan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di bawah bimbingan nubuwwah, Ummu Salamah mendulang ilmu. Juga dari putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fathimah radhiyallahu ‘anha.
Ummu Salamah menyampaikan apa yang ada pada dirinya hingga bertaburanlah riwayat dari dirinya. Tercatat deretan panjang nama-nama ulama besar dari generasi pendahulu yang mengambil ilmu darinya. Dia termasuk fuqaha dari kalangan shahabiyah.
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha telah melalui rentang panjang masa hidupnya dengan menebarkan banyak faedah. Masa-masa kekhalifahan pun dia saksikan hingga masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. Pada masa inilah terjadi pembunuhan cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib c. Ummu Salamah sangat berduka mendengar berita itu. Dia benar-benar merasakan kepiluan.
Tak lama setelah itu, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha kembali menghadap Rabb-nya. Tergurat peristiwa itu pada tahun ke-61 setelah hijrah.
Terkenang selalu kesetiaan yang pernah dia berikan bagi pendamping hidupnya. Terngiang selalu sebutan namanya dalam kitab-kitab besar para ulama. Ummu Salamah, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya…
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber Bacaan:1.    al-Ishabah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, hlm. 150—152
2.    Shahihus Sirah an-Nabawiyah, Ibrahim al-‘Ali, hlm. 323
3.    Siyar A’lamin Nubala’, al-Imam adz-Dzahabi, hlm. 202—210
4.    Tahdzibul Kamal, al-Imam al-Mizzi, hlm. 317—319

(ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu ‘Imran)